MENYAMBUT 85 TAHUN JEMBER
(Kota Kecil Bervisi Dunia)
Jember itu Dimana?
Ini
cerita lama, sekira tahun 90an. Dari dosen guru saya yang pernah meraih
prestasi tingkat nasional dalam bidang karya ilmiah. Dalam penerima
penghargaan itu, ketika memasuki acara ramah tamah, satu persatu mereka
yang berprestasi didekati oleh Ibu negara. Begitu menyapa dosen saya
tersebut, Ibu Tien Suharto bertanya :
“Dari mana mas?”. Dengan sedikit kikuk dosen itu menjawab singkat,
“Jember, Jawa Timur, Ibu...”. “Oh, Jember, mananya Banyuwangi ya...?”, lanjut first lady ini tanpa ekspresi. Dengan sedikit mendongkol (tetapi di tahan) dosen guru saya ini menjawab ramah,
“Baratnya, Ibu, masih tetangganya....”.
Terasa
ada umpatan dari dosen guru saya itu, ketika dia bercerita pengalamannya di
Istana Negara, di depan mahasiswa yang diajarnya saat itu, walau tidak
terlalu tampak. Syukurlah umpatannya sedikit sopan dan boleh dikatakan
objektif. Lho? Iya, umpatan yang lebih mengarah pada keluhan dan rasa
minder ketika kotanya begitu buram di mata orang kedua di negeri ini
saat itu. Umpatan itu logis, karena diakhiri dengan kata-kata
“Mengapa saya harus hidup di daerah terpencil ini.....!”, pekiknya sembari geleng-geleng kepala.
(cerita ini fakta adanya, Cuma memang saya lupa nama dosennya dan apa nama penghargaannya, semoga pembaca masih bisa percaya)
Tahun
2001 Guru saya lolos untuk mengikuti TOT Instruktur tingkat nasional dalam
bidang integrasi IMTAQ-IPTEK. Delegasi Jawa timur ada 8 orang, satu yang
tidak bisa ikut karena tenaga dan pikirannnya diperlukan sekolah. Dari
tujuh orang itu, enam lelaki satu wanita. Ketika reservasi di Wisma
Handayani di daerah RS. Fatmawati, tiga orang delegasi Jatim kumpul
dengan dua orang dari Gorontalo.
Hampir senasib dengan dosennya, saat kenalan dengan teman guru Gorontalo, tanpa merasa bersalah dia bertanya :
“Jember itu dekat mungkin ya dengan Lumajang...?”. Bah, dengan setengah malu guru saya jawab saja,
“Iya, tetangga timur kabupaten...”.
Tiga delegasi lain dari luar Jawa Timur yang kenalan dengan saya pun
pertanyaannnya semirip itu, Lumajang juga. Untuk menghilangkan rasa
penasaran, guru saya bertanya ke teman Gorontalo yang sekamar dengan saya,
mengapa begitu faham dengan Lumajang? Dengan ringannya dia menjawab,
“Pisang yang ada di Gorontalo semua dari Lumajang lho, Pak....?”. Nah lho.
Haruskah
saya iri dengan Banyuwangi dan Lumajang yang notabene mengapit
kabupaten saya ini, ya Jember ini? Benarkah Jember hilang dari peta
Indonesia? Ah, tidak juga ternyata. Benar yang dikatakan teman Gorotalo
itu, Lumajang cukup eksis dengan produksi pisangnya hingga jika kita
memasuki pintu gerbang kabupaten ini sudah ada simbol pisang di kiri
kanan gapuranya. Dan kenyataannya di sepanjang jalan itu memang tidak
sulit untuk menemukan orang yang membawa pisang mulai dari truk sampai
cukup dikayuh dengan sepeda onthel.
Eksistensi
yang butuh gerakan yang total, karena dengan “hanya” pisang, kota ini
sampai bisa menstok asupan buah di Gorontalo. Pisang, yang satu
tandonnya mungkin tidak lebih dari 30-50ribu, tapi bisa membahana ke
seantero negeri. Benar-benar harum nama Lumajang, semanis pisang.
Bagaimana
dengan Banyuwangi? Untuk daerah yang satu ini agak tidak terkejut saya.
Letek geografis yang dekat dengan Bali, ujung terakhir pulau Jawa di
sebelah timur, juga di sana ada cerita yang cukup melegenda, Minak
Jinggo. Bisa jadi didukung pula oleh sosok selebretis lama sekelas
Emilia Contesa yang sekarang menurun di Denada dengan segala fantasi kehidupannya.
Sangat
mahfum saya dengan Banyuwangi ini, sampai detik ini pun getar-getar
kreasi sering menyeruak dari kota ini. Katakanlah koleksi album
Banyuwangian yang begitu bisa diterima oleh telinga pecinta musik
Indonesia. Belum lagi Jangernya dan keunikan bahasa Osingnya.
Yah,
Mahfum saya jika dua kabupaten pengapit kabupaten saya ini begitu
familier di telinga nusantara. Dan syukurlah, kepopuleran ini karena
adanya pengolahan yang tepat atas kekayaan alam dan budaya yang
dimilikinya. Tentu prestasi adanya.
Untuk Jember apakah masih seperti dulu adanya? Semoga
dalam waktu dekat ini bisa menyusul ketenaran seperti daerah tetangga
itu. Semoga gerakan-gerakan yang sekarang digagas oleh pemerintah daerah
bersama rakyatnya tidak terlalu lama akan menuai hasilnya. Memang butuh
ketelatenan dan daya juang yang tinggi untuk bisa meletakkan nama
daerah ini di memori regional bahkan dunia. Butuh kerja terus menerus
tanpa kenal lelah.
Tentu
kita malu melihat pisang begitu menusantaranya, malu pula gandrung dan
jangernya bebas lepas menyapa nusantara. Sementara Jember juga sudah
mulai merintis untuk punya ketenaran itu sedikit demi sedikit dengan
menggali ikon-ikon daerah yang dicoba untuk dilahirkannya. Sangat wajar
nelangsanya jika BBJ yang digelar berbulan-bulan dengan melibatkan semua
daya upaya masih juga kalah dengan setandon pisang. Sangat rugi jika
bandara dan geliat wisata dan bisnisnya yang menelan milyaran rupiah
tidak bisa juga mengangkat nama wilayah.
Saya
termasuk yang menyayangkan dengan adanya ramainya kasus pernikahan
Anang-Asanti yang itu justru malah menjadi beban nama bagi kabupaten
ini. Terlepas dari siapa yang benar, kericuhan ini lebih pada kurang
sehatinya warga dan pemerintah dalam menuju jember sebagai kota kecil
tetapi mendunia. Dan terlepas dari benar tidaknya kasus itu pula.
Layaklah jika sekarang kita mengaca dan bertanya,
“Jember Itu Di Mana...?”.
Hanya
mereka yang salah pikir saja yang tidak ingin Jember ini merambah ke
mana-mana. Dan jangan teruskan salah pikir mereka dengan tetap
membiarkan Jember tanpa makna, karena ada dimana-mana tetapi tidak
nyata!
Anang Hermansyah setiap minggu nampang di tv swasta,
Dewi persik
tidak pernah absen dalam setiap event acara. Gosip-gosip mereka semakin
menebarkan kepakan sayap kepopulerannya. Tetapi mengapa Jember sulit
melekat dalam kepopuleran itu. Mengapa tidak mengekor
mbak Emilia
yang dalam setiap wawancara kala itu selalu membawa-bawa daerah
kelahirannya. Pasti ada yang salah dalam memanfaatkan momentum yang ada.
Begitu
juga dengan BBJ, wabil khusus JFC-nya. Mengapa hanya menggema satu dua
bulan saja. Selepas itu orang sudah lupa di mana JFC pernah ada.
“Jember Itu Di mana...”,
jadikan ikon ketakutan semua warga, jadikan kengerian yang sangat,
termasuk rasa tabu yang membulat. Harus diakhiri sesegera mungkin!
Bagaimana?
Kembali,
saya melihat sinergi yang kurang kuat dalam setiap menggerakkan momen
yang ada. Pelibatan elemen kurang merata, bisa jadi ada kevakuman dalam
membaca hasil setiap moment itu.
Warga
harus di sapa, dengan melibatkan potensi yang ada di tengah-tengah
mereka tanpa mengurangi makna event yang akan diselenggarakannya. Kalau
memang ada unsur bisnis di dalamnya, sebaiknya dipinggirkan sementara.
Gapai dulu penanaman yang masih dalam bentuk kerja sosial belaka.
Menanam investasi untuk dituai anak cucu kita.
Jember
bukan kota “apa adanya”, Jember penuh dengan selera dan kreasi anak
mudanya. Jember berserakan potensi yang ingin dirajutnya. Jika sampai
kinipun masih juga tanpa kabar berita kelanjutannya, sungguh, jember
memang bakal akan selamanya “di mana”, dan gerakan-gerakan yang ada
sebatas tanpa makna.
Warga
Jember, Bupati kita, Pemerintahnya, berserulah untuk menggemakan dimana
Jember berada. Bisikkan dengan kreasi dan kelincahan idea untuk
menghantarkan kota ini ke tanah yang rata dan mudah di baca, oleh siapa
saja. Kita besar dan bisa. Benarkah ini karena tingginya himpitan dua
tetangga kita itu, atau kita memang sedang melamun untuk meneggelamkan
diri?
85 Tahun,
seharusnya sudah bisa banyak bicara. Bukan gebyar-gebyar yang kemudaian
hilang musnah. Kalau itu adanya, pasti ada yang salah. Kuliti diri kita,
maju bersama. Bersinergi salah satu jalannya. Segeralah dewasa kotaku,
jadikan kenyataan, impian itu : “Kota Kecil Yang Mendunia”. Ayo,
segera...!